Sebelum kita membahas lebih jauh,
terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah nikah siri itu. Dengan begitu akan
lebih mudah untuk menagkap isi dari pembahasan. Istilah nikah siri atau
yang biasa disebut nikah dibawah tangan atau nikah yang dirahasiakan memang
dikenal dikalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas.
Hanya saja pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan
yang memenuhi unsure-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut
syariat, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab
qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh
dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak
memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada
masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun nikah dalam bentuk
walimatul-‘ursy atau dalam bentuk yang lain.
Nikah siri atau nikah bawah tangan
ini cukup banyak diperbincangkan sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai
nikah siri. Pendapat pertama yaitu nikah siri adalah nikah sembunyi-sembunyi,
padahal menurut ajaran agama islam, Rasulullah mememrintahkan “awlim walau bi
syatin” (umumkanlah pernikahanmu walau kau hanya memotong seekor anak domban
kecil), menikah siri adalah menikah yang tidak dicatat di KUA, padahal ajaran
islam menaati Allah, Rasul dan pemerintah adalah suatu kewajiban. Pendapat
kedua, nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama
atau adat istiadat dan tidak dicatatkan dikator KUA bagi yang beragama islam,
kantor catatan sipil bagi non muslim. Menurt Prof. Dr. Dadang Hawari (psikiater
dan ulama) berpendapat bahwa “Telah terjadi upaya mengakali pernikahan dari
sebuah prosesi agung menjadi ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia”, ia
menilai pernikahan siri saat ini banyak dilakuakn sebagai upaya legalisasi
perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih, sehingga
menurutnya pernikahan siri itu sah.
Dari tiga pendapat tentang nikah
siri tersebut maka dapat didefinisikan bahwa nikah siri saat ini adalah nikah
yang dalam prakteknya tidak dilaksanakan sebagaimana diajarkan dalam agama
islam yang mana harus turut mematuhi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang telah
ditentukan oleh pemerintah yaitu setelah menikah secara agama atau adat harus
pula dilakukan pencatatan di catatan sipil atau KUA sebagaimana telah diatur
dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 (2) dan sebagaimana disinggung dalam
kompilasi hukum islam (Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991 pasal 17 ayat
1), sehingga saat ini nikah siri menjadi suatu pernikahan yang tidak sah secara
agama maupun hukum di Indonesia. Alasan dari definisi sesuai rukun dan syarat
yang sahnya, sebab lain halnya jika sampai saat ini hukum yang berlaku di
Indonesia hanya hukum islam yang ada, maka bagi siapapun yang menikah siri
tidak akan mengalami kesulitan, karena tidak perlu diadakan pencatatan.
Berhubung saat ini telah berlangsung ketentuan pemerintah yang juga telah disepakati
oleh masyarakatnya, makan ketentuan tersebut wajib ditaati oleh masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat maju dalam suatu Negara hukum.
Ada beberapa hal yang dapat kita
perhatikan dari keadaan yang sudah ada. Yang paling mencolok adalah fenomena
salah tanggap atau salah kaprah dalam menyikapi persoalan nikah siri yang
teryata sudah berkembang sedemikian rupa. Salah kaprah yang dimaksud disini
adalah bahwa nikah siri diasumsikan sebagai sebuah jalan pintas untuk
menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan begitu pastilah
ada faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan nikah siri. Dengan
mengetahui faktor-faktornya akan dapat mengurangi penyalahgunaan nikah siri.
Faktor-faktor
yang menyebabkan pernikahan siri antara lain :
Faktor Kesadaran Hukum, maksudnya
adalah kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang
tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan peryataan tersebut. Salah satunya
yaitu ketidakpatuhan untuk memcatatkan perkawinan sebaimana yang telah ditentukan
dalam pasal 2 (2) UU No.1 tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa
kesadaran hukum masih kurang , serta pola pikir yang dangkal yang disebabkan
rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang
dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Faktor Agama, dengan
mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama islam. Dengan demikian,
perkawinan sering dilakukan secara aturan agama islam oleh masyarakat yang
beragama islam. Sehingga beberapa orang yang beragama islam tidak mencatatkan
pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama islam, pencatatan nikah itu
diharuskan karena pernikahan termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam
kegiatan perjanjian hutang piutang.
Faktor Ekonomi, factor ini
juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah siri tetapi tidak
menjadi factor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas
memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang
baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin. Maka
mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak.
Dengan adanya faktor-faktor
tersebutlah tindakan untuk melakukan nikah siri makin marak dijumpai, baik dari
kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi
dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk
kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alas an
lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulakan akibat melakukan
praktek nikah siri mungkin mereka akan segan untuk melakukannya. Karena akibat
yang ditimbulkan nanti kedepannya akan merepotkan diri sendiri.
Jika ada seorang perempuan yang
kemudian diajak menikah siri oleh seorang laki-laki, yang ada dibenaknya
hanyalah pemikiran tentang hal yang indah-indah saja tanpa ada pemikiran
panjang akan akibat kedepannya. Jika mereka dikaruniai seorang anak, maka
dengan otomatis status anak tersebut menjadi persoalan. Apakah dia menjadi anak
sah atau tidak. Mengapa demikian, karena dalam hal ini anak tidak memsapatkan
akta kelahiran mengingat kedua orangtuanya melakukan nikah siri yang sah secara
agama tetapi belum sah dimata hukum karena tidak tercatat di KUA . Maka dengan
begitu anaklah yang menjadi korban, status anak tidak diakui oleh Negara.
Apabila dikemudian hari pasangan
suami isteri tersebut bercerai, maka cara bercerai merka berbeda denganan
pernikahan yang dilakukan secara sah dimata hukum atau yang dicatatatkan di KUA. Cara
perceraian pernikahan siri adalah apabila seorang suami telah menjatuhkan talak
kepada isteri maka dengan begitu sudah sahlah perceraian mereka dan dengan
adayan perceraian tersebut isteri tidah berhak menuntut harta gono-gini atau
apapun yang telah didapat selama perkawinan berlangsung. Karena dalam hal ini
si isteri dianggap orang lain meskipun secara agama telah diakui sebagai isteri
tetapi secara hukum tidak dapat dianggap sebagai isteri yang sah.
Dengan begitu dapat diambil
kesimpulan apa saja akibat dari melakukan nikah siri untuk suami, isteri, dan
anak.
a)
Akibat bagi
pihak isteri / wanita :
·
tidak diakuinya sebagai isteri yang
sah
·
tidak berhak atas nafkah dari suami
·
tidak berhak mendapat warisan suami
jika telah meniggal
·
tidak berhak atas harta gono-gini
bila terjadi perceraian, karena secara hukum positif, perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi
Dalam hal ini pihak wanita memang
paling banyak meneriman kerugian bila melakukan pernikahan siri, belum lagi
nantinya wanita tersebut akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan
bersosialisasi dengan masyarakat. Karena pandangan umum masyarakat menilai
bahwa ia telah tinggal dengan laki-laki diluar nikah atau sebagai isteri
simpanan.
b)
Akibat bagi
anak :
Status anak yang dilahirkan dianggap
sebagai anak tidak sah, sehingga dimata hukum tidak memiliki hubungan perdata
dengan ayahnya tetapi hanya meiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
dari ibunya saja (pasal 42 dan 43 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 100 KHI).
Didalam akte kelahirannyapun status anak tersebut dianggap sebagai anak luar
nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan
berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumkannya nama si ayah
akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis si anak dan ibunya.
Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan ketidak jelasan status anak dimata
hukum, sehingga sewaktu-waktu si ayah akan menyangkal bahwa anak tersebut
adalah anak kandungnya.
c)
Akibat bagi
suami / laki-laki :
Sebenarnya hampir tidak ada kerugian
yang didapat oleh pihak laki-laki, bagi laki-laki yang melakukan nikah siri
cenderung mendapat keuntungan sebab ia dapat bebas untuk menikah lagi karena
pernikahan sirinya yang sebelumnya dianggap tidak sah dimata hukum. Ia juga
dapat menghindar dari kewajibanya member nafkah untuk anak dan isterinya dari
nikah siri tersebut, dan tidak akan pusing memikirkan pembagian harta
gono-gini, warisan dan lain-lain. Meski sebagian memiliki keyakinan atau
penyelesaian secara agama atau adat, namun tetap saja sebagai warga yang bernegara
pihak yang dirugikan dalam nikah siri ini seperti pihak wanita yang menikah
siri tidak memiliki kekuatan hukum apabila terjadi sengketa perdata pada
pernikahannya tersebut.
Setelah kita mengetahui akibat dari melakukan praktek nikah siri, bahwasanya
sebagai kaum hawa dan sebagai masyarakat yang sadar hukum dan hidup dinegara
hukum, maka alangkah baiknya mentaati peraturan yang ada apalagi mengenai
perkawinan yang bersifat sakral. Karena ada sebuah kata yang patut menjadi
motivasi dalam menjalani kehidupan bernegara, kata-katanya adalah “jalanilah
hidup dengan mentaatti setiap peraturan karena hidup akan nikmat”. Itu adalah
pandanga dari segi hukum, dengan adanya kata-kata tersebut kita dihimbau untuk
selalu jaga diri agar tidak terjerat hukum dengan mematuhinya.