Sunday, October 13, 2013

Dasar Hukum Nikah Siri

0 comments

Nikah siri yang dikenal oleh masyarakat seperti kasus yang telah diterangkan tadi muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana UU No 1 tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan : perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :
Pasal 2 :
Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah ALLAH dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 :
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4 :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakuakn menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5 :
(1) Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang – Undang No. 32 Tahun 7954
Pasal 6 :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
(2) Perkawinan yang dilakuakn diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

           Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP No.9 tahun 1975 mengatur tentang tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan : “Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam ayat (3) disebutkan : “Dengan mengidahkan tatacara perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 11 : (1) Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 PP ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2)  Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat nikah yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam pasal 13 siatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu : Akta perkawinan dibuat dalam rangkap dua (helai), helai pertama disimapan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada. Kepada suami isteri masing-masing diberi kutipan akta perkawinan.
           Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakuakn akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundang direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh pegawai pencatat, seperti yang diatur dalam pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatattnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”.
Atas dasar pertimbangan diatas, maka bagi masyarakat, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah talak dan rujuk di dalam pasal 3 ayat (1) menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (pegawai pencatat nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat (2) menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.100,- (seratus rupiah). Oleh karena itu, apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.