Saturday, June 18, 2011

Kumpulan Makalah Peradilan Kelompok PMH

0 comments
Kelompok I
Kekuasaan PM dan PTUN 

1. Kekuasaan & Wewenang Pengadilan Militer
a.      Kompetensi Pengadilan Militer :
Kompetensi absolut peradilan militer dijelaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.  Pada pokoknya menyatakan :
1.      Mengadili Tindak Pidana Militer
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada waktu melakukan adalah :
a.       Prajurit ;
b.     Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
c.   Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang  dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang ;
d.      Seseorang yang tidak termasuk prajurit atau yang ber-dasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit ber-dasarkan undang-undang; tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam  lingkungan peradilan militer.
2.      Tata Usaha Militer.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding
3.      Peradilan militer juga memiliki kompetensi absolut untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa suatu perkara. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang :
a.       Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b.      Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah  hukumnya.
Pasal 11 menegaskan : “Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut“.
2.      Susunan Peradilan Militer
Susunan peradilan dalam lingkungan peradilan militer dijelaskan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer  terdiri dari  Pengadilan Militer; Pengadilan Militer Tinggi; Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Kekuasaan Pengadilan Militer dijelaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer :
“Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah :
a.       Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b.      Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya ‘ termasuk tingkat kepangkatan’ Kapten ke bawah; dan
c.       Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer“.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : 
1. Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama :
§     Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah :
a.       Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
b.      Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b      dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya ‘termasuk tingkat kepangkatan’ Mayor ke atas; dan
c.       Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi.
§      Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
    2. Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah   diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. 
   3. Pengadilan  Militer  Tinggi  memutus  pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya “.
Pasal 43 menjelaskan :
1.   Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili :
a.Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b.  Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c.  Antar Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
2.      Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi :
a.Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama;
b. Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama;
3.     Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara  Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan  Militer  atau  pengadilan  dalam lingkungan Peradilan
Umum“. 
Di samping itu, Pengadilan Militer Utama mempunyai fungsi pengawasan yang diatur Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, pada pokoknya  :
1.      Penyelenggaraan peradilan :
a.       Pengadilan Militer;
b.       Pengadilan Militer Tinggi; dan
c.       Pengadilan Militer Pertempuran.
2.      Tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya : Untuk itu Pengadilan Militer Utama berwenang meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Kemudian mem-beri petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Selanjutnya, Pengadilan Militer Utama juga berfungsi untuk meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung“.
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran diamanatkan dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer :
“Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran “.
3.    Kewenangan Dan Susunan Peradilan Tata Usaha Negara
a.      Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Friedrich Julius Stahl (dalam Siti Soetami, 2005: 9) bahwa di negara hukum segala perbuatan yang merugikan setiap orang ataupun hak-hak setiap orang dapat diawasi pengadilan, sedangkan review-nya (peninjauan kembali) dapat disalurkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana control on the administration.
Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: ”Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara”. Dengan demikian, maka wewenang PTUN dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Memeriksa,
2. Memutus, dan
3. Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.
Ketiga kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak semua Sengketa Tata Usaha Negara menjadi tugas dan wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, karena dari ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa PTUN tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.     a.Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 
  b.Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.Susunan Pengadilan dan Tempat Kedudukan
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan peradilan, yaitu:
1.Makhamah Agung; sebagai pengadilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, yang berfungsi untuk memeriksa di tingkat kasasi perkara yang telah diputus oleh pengadilan ditingkat bawahnya. Mahkamah Agung mempunyai tempat kedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia, yaitu Jakarta.
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; yang mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
(1)  Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
(2)  Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
Dari uraian pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) tugas pokok Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yaitu:
  1. Memeriksa dan memutus di tingkat banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
  2. Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir apabila ada sengketa kewenangan untuk mengadili.
  3. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan pada tingkat pertama terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang telah menempuh upaya administrasi berupa banding administrasi atau keberatan dan banding administrasi (Pasal 48 dan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991).
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di tingkat propinsi yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pertama kali dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1990 adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang.
3. Pengadilan Tata Usaha Negara; pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di tingkat kabupaten, namun belum semua kabupaten di Indonesia memiliki Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk berdasarkan Kepres, yang pertama sekali terbentuk berdasarkan Kepres Nomor 52 Tahun 1990 adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Selanjutnya yang dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 16 Tahun 1992 adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, Bandung dan Padang.
Kelompok II
Tata Cara Berperkara di PN dan PTUN

1.      Tata Cara tentang Beracara di Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara pidana untuk orang sipil, perdata untuk rakyat Indonesia, dan kekeluargaan untuk orang-orang non-muslim, demi terciptanya keadilan pada umumnya.
Dalam peradilan Negeri, itu terkait pada perkara-perkara pidana dan perkara-perkara perdata.
2.      Beracara mengenai Perkara Perdata di Muka Pengadilan Negeri
Dalam beracara mengenai perkara perdata di muka pengadilan negeri, yang pertama ialah penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Kemudian penggugat membayar biaya perkara 2/3 verscort. Setelah itu penggugat menerima nomor perkara (roll). Sambil penggugat menunggu kapan terlaksananya sidang, Kepala Pengadilan Negeri menunjuk Majlis Hakim, Menunjuk Panitetera, dan menentukan hari sidang.
3.      Proses Beracara Perkara Pidana di Pengadilan Negeri
Pada dasarnya, dalam proses beracara perkara pidana, terbagi menjadi tiga, yaitu perkara pidana biasa (pid.b), perkara pidana singkat (pid.s), dan perkara pidana cepat.
Dalam pemeriksaan perkara pidana biasa di persidangan, pada hari persidangan yang telah ditentukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua PN, Majelis Hakim pun memasuki ruang persidangan dengan semua yang terlibat didalamnya, seperti terdakwa dan/atau pengacara, Jaksa Penuntup Umum (JPU), dan penonton (psl. 218 ayat (1) jo 232 ayat (2), (3) KUHAP).
Setelah mereka semua memasuki ruang persidangan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan ia wajib menyatakan bahwa persidangan ini dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara pidana yang menyangkut kesusilaan atau dimana terdakwa masih anak-anak, maka persidangan demikian dinyatakan sebagai sidang tertutup (psl. 153 ayat (3) KUHAP). Haruslah diingat bahwa peranan hakim ketua sidang dan dua orang anggota lainnya adalah aktif, dalam arti mereka memimpin persidangan dan menjaga serta memelihara agar ketentuan-ketentuan dalam beracara tidak dilanggar ataupun dikurangi hak dan kewajiban pihak-pihak, yakni JPU maupun terdakwa.
Kemudian, hakim ketua menanyakan kepada terdakwa tentang nama, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal terakhir, agama, pekerjaan serta memberikan peringatan kepada terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar ataupun dilihat di persidangan (psl. 155 KUHAP).
Selanjutnya hakim ketua memerintahkan JPU untuk membacakan surat dakwaan dan jika terdakwa belum mengerti isi dan maksud surat dakwaan tersebut, maka JPU atas permintaan hakim ketua memberikan penjelasan (psl. 155 ayat (2) butir a dan butir b KUHAP).
Atas isi surat dakwaan tersebut, terdakwa atau pengacara dapat memberikan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili atau dakwaan harus dibatalkan (obscure libel) atau surat dakwaan tidak dapat diterima. JPU diminta untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (tangkisan) tersebut dan terakhir hakim ketua akan mempertimbangkan untuk selanjutnya mengambil keputusan (psl. 156 ayat (1) KUHAP).
A.    Tata Cara tentang Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
1.        Karakteristik Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang  bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal  yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut :
§    Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
§    Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
§  Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  (Pasal 62).
§    Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
§   Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).
§  Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
§  Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
§  Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
§  Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
§  Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa,  akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
§  Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
2.  Tahapan pemeriksaan:       
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke PTUN yang berwenang untuk mengadilinya.Penyelesaian sengketa di PTUN tahapannya sebagai berikut :
1.      Penelitian Administrasi
2.      Proses Dismissal
3.      Pemeriksaan Persiapan
3.   Persidangan      
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk  pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan dan  hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat. Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.


4.  Putusan Pengadilan
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
Kelompok III
Tata Cara Berperkara di Lingkungan Peradilan Agama

1.      Permohonan Dan Gugatan
Di dalam Hukum Acara Perdata, kita mengenal adanya permohonan dan gugatan. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah dalam suatu gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan.  Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah ada yang melanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar hak tersebut tidak mau meyerahkannya secara sukarela.
Gugatan ini harus diajukan kepada dimana si tergugat itu tinggal. Dalam bahasa latin hal ini disebut dengan “Actor Sequitur Forum Rei”. Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Oleh karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan pasal 12 HIR akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud.
Surat gugat ini isinya harus memuat tanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat lengkap dengan alamatnya. Selanjutnya, bagian yang disebut dengan posita, yang mana isinya adalah memuat alasan-alasan berdasarkan kedaan dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasar hukum. Bagian akhir harus ada petitum. Petitum ini merupakan bagian yang terpenting karena merupakan yang diinginkan, ditetapka, diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim. Sedangkan, dalam perkara permohonan tidak ada sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.
Contoh bentuk permohonan adalah misalnya apabila segenap ahli waris menghadap ke pengadilan secara bersama-sama untuk mendapatkan penetapan perihal bagian masing-masing dari warsan tersebut. Di dalam kasus ini hakim hanya mengeluarkan penetapan yang disebut putusan decalatoir, yaitu putusan yang hanya bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Contoh lain untuk permohonan adalah permohonan izin untuk melakukan poligini, permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami istri yang belum mencapai umur perkawinan.
2.      Perihal Acara Istimewa
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak atau semuanya, baik itu penggugat maupun tergugat atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang telah ditentukan maka berlakulah acara istimewa yang diatur diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR.
Apabila penggugat yang tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya secara syah dan telah dipanggil dengan patut maka gugat digugurkan, sedangkan apabila tergugat yang tidak hadir maka berlakulah perstek. Untuk putusan perstek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 125 ayat 1 HIR;
1.      Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada haris sidang yang telah ditentukan
2.      Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap
3.      Ia atau mereka telah dipanggil dengan patut
4.      Petitum tidak melawan hak
5.      Petitum beralasan
3.      Perihal Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Sidang Pengadilan
Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama perkara gugatan dalam perkara persdangan itu adalah sebagai berikut;
1.  Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator yang sudah memiliki sertifikat mediator yaitu pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator.
Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.
2.  Tahapan replik dan duplik
Dalam tahapan ini dilakukan pembacaan surat gugatan/permohonan, tanggapan atas gugatan yang diajukan, kemudian jawaban atas tanggapan tergugat (replik), selanjutnya, replik itu dijawab kembali oleh tergugat (duplik). Dalam tanggapan atas gugatan yang diajukan ada dua macam, yaitu;
a.       Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
b.      Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (tangkisan atau eksepsi)
Tentang tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua macam yaitu eksepsi kekuasaan absolute dan kekuasaan relatif.
Eksepsi kekuasaan absolute adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam perkara tersebut yang mana merupakan wewenang pengadilan lain dalam berbeda pengadilan. Eksepsi kekuasaan absolute dapat disampaiakan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung.
Eksepsi kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam menangani kasus tersebt tetapi merupakan wewenang pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama. Eksepsi ini diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan maupun tertulis.
3.  Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan Majelis Hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak tergugat untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh pihak penggugat.
Dalam ketentuan pasal 125 H.I.R disebutkan bahwa alat-alat bukti yang sah itu ada 5 macam, yaitu;
a.       Bukti surat
b.      Saksi-saksi
c.       Persangkaan
d.      Pengakuan
e.       Sumpah 
Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, dalam hal ini pekara yang memerlukan penyelesaian melalui kekuasaan Negara. Putusan ini terdiri dari dua jenis yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela dilakukan apabila tergugat melakukan eksepsi relative pada hari sidang pertama, oleh kerena itu Majelis Hakim wajib memmutuskan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada pemeriksaan pokok perkara. Putusan sela ini ada bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Putusan prepatoir
2.      Putusan insidenti
3.      Putusan provisional
Putusan akhir ini terdiri dari 3 macam, yaitu;
1.      Putusan declatoir adalah putusan yang hanya bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya adalah sekelompok ahli waris datang ke pengadilan agar mendapat ketetapan mereka masing-masing menurut Hukum Islam. Dalam hal ini maka putusannya adalah putusan declatoir.
2.      Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu kedaan hukum atau menimbulkan keadaan hokum yang baru. Misalnya, adalah putusan perceraian.
3.      Putusan comdemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, adalah harus member nafkah.
Kelompok IV
Tata Cara Beracara di Pengadilan Militer

1.      Pelaksanaan Peradilan Militer
Pelaksanaan peradilan militer dilaksanakan dari mulai penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan eksekusi berbeda dengan peradilan umum, tidak hanya secara teknis melainkan aparat penegak hukum yang ikut dalam proses penyelesaian perkara di lingkungan peradilan militer. Dengan Ankum, Polisi Militer dan Oditur sebagai penyidik, serta Oditur sebagai penuntut, dan Hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Militer. Tingkatan Peradilan dalam lingkup peradilan militer yakni Peradilan Militer, Peradilan Militer Tinggi, Peradilan Militer Utama dan berakhir pada Mahkamah Agung.
2. Penerimaan Berkas Perkara Pidana Militer, Penetapan Pengadilan dan Kewenangan Pengadilan :
a.   Berkas perkara yang diterima dari Oditurat Militer dicatat oleh Kataud dalam agenda surat masuk, selanjutnya berkas perkara digabungkan dengan surat-surat lain yang terkait dengan perkara tersebut, kemudian diberi lembar disposisi dan segera diajukan kepada Kadilmil.
b. Kadilmil selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada Katera melalui Kataud untuk dicatat dalam register perkara.
c. Kadilmil segera meneliti dan mempelajari berkas perkara berikut lampirannya yang telah diterima dari Oditurat Militer untuk mengetahui apakah berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
d.  Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak ber-wenang memeriksa perkara tersebut karena Terdakwa telah berubah kepangkatan atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan Terdakwa bukan merupakan yustisiabel Peradilan Militer, maka segera mengembalikan berkas perkara tersebut ke Oditurat Militer dengan suatu penetapan.
e.       Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut karena Terdakwa telah berpindah tugas ke tempat lain di luar wilayah hukum pengadilan yang dipimpinnya, maka ia segera mengembalikan berkas perkara tersebut ke Oditurat Militer dengan perintah agar perkara tersebut dilimpah kan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tugas Terdakwa dengan suatu penetapan pelimpahan.
f. Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dalam kewenangan pengadilan yang dipimpinnya, maka ia segera menunjuk Hakim Militer yang nantinya akan menyidangkan perkara tersebut.
g. Kadilmil selanjutnya mengeluarkan Penetapan Penunjukan Hakim (Tapkim) dengan menunjuk Hakim Militer untuk menangani perkara tersebut sebagai Majelis Hakim.
3.      Persiapan Hakim :
a.       Hakim Ketua dan kedua Hakim Anggota yang telah ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut segera mempelajari berkas perkara, selanjutnya Hakim Ketua menetapkan hari sidang (Tapsid). Perkara yang Terdakwanya berada dalam tahanan didahulukan penyidangannya.
b.      Surat Penetapan Hari Sidang harus memuat perintah kepada Oditur Penuntut Umum supaya memanggil Terdakwa dan para Saksi untuk datang serta menghadapkan barang bukti ke ruang sidang.
c.       Setelah Kaotmil menerima surat penetapan hari sidang, Kaurdak menyerahkan Tapsid dan berkas perkara beserta lampirannya kepada Oditur Penuntut Umum yang akan bertindak selaku Penuntut Umum.
d.      Kaotmil mengeluarkan Surat Panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang men-cantumkan waktu dan tempat sidang serta dalam apa mereka dipanggil. Surat Panggilan harus diterima oleh Terdakwa dan Saksi selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang.
e.       Cara pemanggilan terhadap Terdakwa dan Saksi terhadap Terdakwa dan Saksi anggota TNI menggunakan surat pemanggilan dengan disampaikan kepada Ankum dengan tembusan Papera.
f.       Dalam surat panggilan dicantumkan kewajiban Terdakwa dan Saksi untuk datang dalam sidang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
4.      Pemeriksaan / Sidang dengan Acara Pemeriksaan Biasa  :
Dalam acara persidangan  Acara Pemeriksaan Biasa ini sama dengan acara pada sidang di Pengadilan Negeri pada umumnya, yaitu dimulai dari :
§  Pembukaan sidang dan pembacaan surat dakwaan.
§  Pemeriksaan Saksi-saksi.
§  Pemeriksaan Terdakwa.
§  Pemeriksaan barang bukti.
§  Kemudian setelah selesai lalu Hakim Ketua menanyakan apakah Oditur/Jaksa sudah siap dengan tuntutannya.
§  Kemudian Terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan/permohonannya atas tuntutan Oditur tersebut.
§  Kemudian persidangan ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim untuk bermusyawarah untuk mengambil putusan,
§  Kemudian pengucapan putusan Pengadilan Militer.
5.      Acara Pemeriksaan Khusus, yaitu : 
§  Acara pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran.
§  Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir.
§  Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di daerah pertempuran.
§  Terhadap putusan pada Pengadilan Pertempuran, Terdakwa atau Oditur hanya dapat mengajukan kasasi.
6.      Penyelesaian Perkara Pidana Koneksitas :
a.       Penyelesaian perkara pidana koneksitas dilaksanakan dengan melihat dimana dari titik berat pihak yang dirugikan.
b.      Apabila diperiksa dan diadili di Peradilan Umum, maka Hakim Ketua adalah Hakim dari peradilan umum dan salah satu Hakim anggota adalah Hakim Militer yang sudah di-angkat menjadi Hakim Koneksitas
c.       Apabila diperiksa dan diadili di peradilan militer, maka Hakim Ketua adalah Hakim Militer dan salah satu Hakim Anggota dari Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi Perwira Tituler.
d.      Hakim Militer/Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana koneksitas di Pengadilan Negeri/Tinggi memakai pakaian sipil dan memakai toga.
e.       Hakim Pengadilan Negeri/Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana koneksitas di Pengadilan Militer/Tinggi memakai seragam PDU IV yang disediakan oleh Pengadilanyang bersangkutan.
f.       Pakaian seragam PDU-IV hanya boleh dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri/ Tinggi pada saat sidang, tidak dibenarkan dipakai diluar acara sidang.
7.      Pemeriksaan dan Pembuktian Perkara Pidana  :
Bahwa Pengadilan Militer sebelum membuat putusan apakah itu nantinya berupa pe-midanaan atau pembebasan selalu berpegang pada fakta-fakta perbuatan dan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
1)        Pemeriksaan Terdakwa  :
§  Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar keterangannya.
§  Apabila dalam suatu perkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa maka Hakim Ketua dapat mengaturnya menurut cara yang dipandangnya baik,
§  Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa segala hal yang dipandang perlu untuk memperoleh kebenaran materiil.
§  Setelah Hakim Ketua selesai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ia memberikan kesem-patan kepada Hakim-Hakim Anggota, Oditur Penuntut Umum dan Penasihat Hukum secara berturut-turut untuk mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa.
§  Hakim Ketua menjaga supaya tidak diajukan pertanyaan yang tidak dibenarkan kepada Terdakwa
8.      Pelaksanaan Putusan Pengadilan  :
a)      Bahwa putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
b)      Mendahului salinan putusan sebagaimana yang dimaksud diatas, Oditur melaksananakan putusan pengadilan berdasarkan petikan putusan.
c)      Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum.
d)     Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e)      Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalan kan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu.
f)       Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana (sudah BHT) sebagaimana di-maksud diatas dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
g)      Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997.
Kelompok V
Produk peradilan

Produk peradilan.
           Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian :
1.  Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
2.   Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair), Sedangkan
3.    Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
              Suatu putusan atau penetapan harus dikonsep terlebih dahulu paling tidak 1 (satu) minggu sebelum diucapkan dipersidangan untuk menghindari adanya perdebatan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis (Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1/1962 tanggal 7 Maret 1962). Putusan sebagai salah satu produk pengadilan agama yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil pemeriksaan perkara di persidangan mesti memperhatikan yang sangat fundamental dan essensial.
hal tersebut mesti diperhatikan secara seimbang dan profesional, meskipun dalam praktek sangat sulit mewujudkannya. Hakim mesti berupaya semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai putusan hakim justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi para pihak pencari keadilan.
Selain itu, perlu diktahui pula bahwa hakim juga mengeluarkan penetapan-penetapan lain yang bersifat teknis administrasi yang dibuat bukan sebagai produk sidang, misalnya: penetapan hari sidang, penetapan perintah pemberitahuan isi putusan dan sebagainya. Semua itu bukan produk sidang dan tidak pula diucapkan dalam sidang terbuka, serta tidak memakai title “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Untuk membuat penetapan, sama dengan membuat putusan hanya saja tidak perlu dengan judul duduknya perkara dan tentang pertimbangan hokum. Demikian pada untuk membuat salinannya, sama dengan salinan putusan. Tentang penetapan terjadinya ikrar talak ex pasal 71 ayat 29 UU No. 1/1989 dibuat sebagai berikut:
§  Dibuat segera penetapan biasa sebagai produk siding (ada kalimat Basmalah dan        Demi Keadilan dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum).
§    Dibuat berdasarkan BAP penyaksian ikrar talak.
§    Nomor penetapan sama dengan nomor perkara.
§    Tanggal penetapan sama dengan tanggal ikrar talak dan BAP ikrar talak.
§  Tangga penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak (PHSPIT), tanggal sidang yang ditetapkan dalam PHSPIT, dan tanggal ikrar talak dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan (kolom 22,23 dan 24).
§  Penetapan ini sebagai dasar dikeluarkannya Akta Cerai. Serat penetapan/putusan dan salinannya harus diketik secara rapih dan bersih dengan bentuk yang lazim berlaku dilingkungan peradilan. Dalam pengetikan putusan/penetapan dan salinannya tidak boleh ada penghapusan dengan Tipp Ex misalnya. Segala kesalahan pengetikan harus dibatalkan dengan cara renvoi.
1)   Kekuatan Putusan hakim
Putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:
§    Kekuatan mengikat
§    Kekuatan pembuktian
§    Kekuatan eksekutorial
Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai berikut :
§    Putusan Akhir
§  Putusan Sela
Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis
§    Putusan gugur
§    Putusan Verstek
§    Putusan kontradiktoir
Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:
§    Putusan tidak menerima
§    Putusan menolak gugatan penggugat
2)        Akta Perdamaian
§    Dibuat berdasarkan pasl 154 R.Bg/130 HIR.
§    Dengan judul AKTA PERDAMAIAN dan dengan nomor yang sama dengan nomor perkara.
§    Ditulis hari dan tanggal sidang perdamaian, dimana para pihak menghadap.
§    Ditulis identitas dan kedudukan para pihak.
§    Ditulis bahwa mereka bersepakat mengakhiri sengketa secara damai.
§    Ditulis lengkap dan rinci isi perdamaian.
§   Isi perdamaian dinyatakan sebagai putusan hakim, dengan judul PUTUSAN dan kalimat Basmalah serta title Demi Keadilan.
§  Ditulis amar putusan “MENGADILI” “Menyatakan bahwa telah tercapainya perdamaian antara kedua pihak”.
“Menghukum kedua belah pihak untuk mentaati persetujuan yang telah dimufakati tersebut diatas” atau “Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara”
§    Ditulis hari, tanggal dijatuhkannya putusan, serta majelis yang memutuskan..
§    Diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh majelis tersebut dan para pihak.
§    Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang dihariri oleh majelis tersebut dan para pihak.
§    Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang bersidang dengan bermaterai Rp. 2.000,-.
§    Kekuatan hukum Akta Perdamaian sama dengan putusan.
Kelompok VI
Upaya Hukum Terhadap Produk Peradilan
Dalam hukum acara perdata terhadap upaya hukum dapat di bagi menjadi upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding (revisi) dan kasasi (cassatie) dan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali (PK) dan derden verzet (verzet door darden).
A.    BANDING
1.        Landasan Hukum Banding
Sebenarnya banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam pasal 350-356 HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op java en het hooggerechtshof van indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP.
Sedangkan banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-194 HIR. Tetapi dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-pasal itu sudah tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang RI tahun 1947 no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004 tentang perubahan atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947 tentang peradilan ulangan.
2.        Alasan Permohonan Banding
Adapun alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan banding diantaranya adalah:
a.       Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu.
b.      Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil.
3.        Prosedur Pengajuan Banding
Putusan yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri mengenai perkara yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini sesuai pasal 6 UU 1947 no. 20 bahwasannya “dari putusan-putusan pengadilan negeri di jawa dan madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partizen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan pertama diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing” (komentar HIR, 2005:170).
Jadi dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir) Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama dikalahkan dan juga jika ada gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada pihak yang dikalahkan maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan banding (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151).
Sedang dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penunttut umum (pasal 67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana ini dapat diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaiman dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP.
Permohonan banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947 “permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk mengajukan permintaan itu, kepada panitera pengadilan negeri, yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.”
Untuk mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri. Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jika pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus dibuktikan dengan surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no. 20 tahun 1947 bahwasannya “jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan pengadilan tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua pengadilan negeri.
Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui bank pemerintah atau kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan:
  1. Biaya pencatatan pernyataan banding,
  2. Besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi,
  3. Biaya pengiriman uang melalui bank/kantor pos,
  4. ongkos kirim berkas,
  5. biaya pemberitahuan berupa:
(1)   Biaya pemberitahuan akta banding.
(2)   Biaya pemberitahuan memori banding.
(3)   Biaya pemberitahuan kontra memori banding.
(4)   Biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan terbanding.
(5)   Biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding.
4.        Putusan Peradilan Tingkat Banding
Putusan yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan Pengadilan Negeri/Agama bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang diberiakan hakim pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti penetapan ahli waris. Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding akan tetapi langsung mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:149).
Jika putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh pengadilan negeri.
B. KASASI
1.        Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga hukum yang dilahirkan di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI) sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan  pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya diperiksa masalah-masalah hukumnya/penerapan hukumnya.  Sehingga yang dapat mengajukan permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak berperkara atau wakilnya yang khusus  dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1) huruf a UU no 3 tahun 2009).
Pada asasnya, landasan hukum kewenangan  kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24 A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun 2009, penjelasan umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.
2.        Prosedur Permohonan Kasasi
Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi permohonan kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan  kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP yang menyatakan tenggang waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan. Prosedural  berikutnya adalah apabila biaya kasasi telah  dibayar lunas semuanya, pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register kasasi, kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari. Perlu juga disampaikan dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi dan berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa, “Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan.”
Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi adalah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP.
Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A dan bundel B. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas:
§  Surat permohonan;
§  Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;
§  Penetapan hari sidang;
§  Relaas-relaas panggilan;
§  Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan dalam berita acara);
§  Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara;
§  Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi;
§  Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada);
§  Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada);
§  Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila ada)
§  Surat-surat bukti Pemohon;
§  Surat-surat bukti Termohon;
§  Surat-surat lainnya;
§  Naskah Asli Putusan.
Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri atas:
§  Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua belah pihak yang berperkara;
§  Akta permohonan kasasi;
§  Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi;
§  Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi;
§  Tanda terima memori kasasi;
§  Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi;
§  Kontra memori kasasi;
§  Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan Niaga; dan
§  Surat-surat lain yang sekiranya ada.
Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi yang ditentukan oleh Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya pemberitahuan, berupa :
§  Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi.
§  Biaya pemberitahuan memori kasasi.
§  Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.
§   Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan tidak dapat diterima.  Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan alasan-alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-keberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak diterimanya permohonan kasasi.
3.        Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi
Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah adalah “pelanggaran hukum” yang telah dilakukan oleh pengadilan yang bersangkutan.
Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 adalah :
1)      Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2)      Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3)      Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
4.        Putusan peradilan tingkat kasasi
Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan, yakni :
1)      Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi.
2)      Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum, maka Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara tersebut “duduk di atas kursi judex facti” karena ia memutusi apa yang biasanya menjadi wewenang “judex facti” (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).
Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
1)      Permohonan kasasi tidak dapat diterima
2)      Permohonan kasasi ditolak
3)      Permohonan kasasi dikabulkan
B.     PENINJAUAN KEMBALI
1.        Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali
Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang telah dibayar lunas. Dalam menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan pertama dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya berupa:
Ø  Biaya registrasi (pencatatan)
Ø  Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali
Ø  Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan
Ø  Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia
Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan kembali.
Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan pada tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan menyampaikan salinan permohonan Peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitra Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 297 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004).
Kemudian setelah itu berkas perkara peninjauan kembali berupa bundel A dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada hakikatnya, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan pada Pengadilan negeri, bundel A ini isinya sama seperti bundel A perkara Kasasi. Sedangkan mengenai bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya peninjauan kembali dan Kasasi yang akhirnya menjadi berkas perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun mengenai bundel B untuk perkara peninjauan kembali terdiri atas:
Ø  Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung kepada Pemohon dan Termohon atau relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan negeri (bila permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas Putusan Pengadilan negeri)
Ø  Akta permohonan peninjauan kembali
Ø  Surat permohonan peninjauan kembali, dilampiri dengan surat bukti
Ø  Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali
Ø  Surat Kuasa Khusus
Ø   Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan
Ø  Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Ø  Tanda bukti setoran biaya peninjauan kembali dari Bank dan
Ø  Surat-surat lainnya yang sekiranya ada.
Dalam praktik, setelah para pihak selesai mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan di tuangkan dalam akta ekploit lalu berkas peninjauan kembali dikirim kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
2.        Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali
Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan dengan lisan  dan menyebut alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan dan dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap diajukan Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada umumnya Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP dengan menyebutkan alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hokum tetap adalah:
a.       Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan.
b.      Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata
3.        Putusan Peradilan Peninjauan Kembali
Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
a.       Putusan yang menyatakan bahwa permohona peninjauan kembali tidak dapat diterima 
a.  Putusan yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali ditolak Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah
  1. putusan yang meyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dikabulkan
B.     Yurisprudensi dan Pembinaan Hukum
1.      Pengertian Yurisprudensi
Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari kata “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis peradilan sama artinya dengan kata” jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. ( Purnadi Purbacaraka , dkk, 1995: 121 )
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2001:1278 ) kata yurisprudensi diartikan :
1.      ajaran hukum melalui peradilan,
2.      himpunan putusan hakim.
Menurut istilah, terdapat berbagai definisi yang dikemukakan pada Ahli Hukum. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa variasi definisi yurisprudensi :
a.       Menurut Kansil ( 1993: 20 ) yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
  1. Menurut Sudikno Mertokusumo ( 1991 : 92 ) yurisprudensi adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara ringkas singkat, menurut Sudikno, yurisprudensi adalah putusan pengadilan.
  2. Menurut Sudargo Gautama ( 1995 : 147 ), yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan Pengadilan, dalam hal pengambilan suatu keputusan oleh Mahkamah Agung atas suatu yang belum jelas pengaturannya, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diikuti oleh Hakim bawahan, yang dihimpun secara sistematis.
  3. Menurut, A. Ridwan Halim (1998 : 57 ) yang dimaksud yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus-kasus serupa.
  4. Menurut Subekti ( 1974 : 117 ) yurisprudensi adalah putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Sebagai salah satu sumber hukum, yurisprudensi dapat dimanfaatkan oleh :
a)      Hakim-hakim lainnya dalam mengadili perkara yang sama;
b)      Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam membentuk atau menciptakan hukum tertulis (Undang-undang);
c)      Pemerintah;
f.       Dunia ilmu pengetahuan (pendidikan hukum).
Kelompok VII
Yurisprudensi Peradilan Di Indonesia


Di daerah Aceh sebelum perkara mengenai hak milik antara para akhli waris dapat diperiksa oleh Pengadilan Umum haruslah diputus terlebih dahulu keahli-warisannya serta bagian-bagian yang menjadi hak dari masing-masing akhli waris oleh Pengadilan Agama (berdasarkan P.P. No. 45/1957).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12 Nopember 1974 No. 1130 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : 1. Pr. Tjut Meurah, 2. Said Kasim, 3. Pr. Sjarifah bt. Said Husain lawan 1. Habib Muhammad; 2. Pr. Tjut Adja Poetri.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. D.M. Lumbanradja S.H.;
b.         Yurisprudensi Pengadilan Negeri
§  Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Terhadap perjanjian yang diadakan antara orang-orang Indonesia asli, sekalipun barang-barang yang diperjanjikan (i.c. rumah dan tanah) tunduk pada hukum Barat, haruslah diperlakukan hukum Adat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 17 Mei 1961 No. 38 K/Sip/1961.
Dalam Perkara : Saanah lawan Maimunah.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Mr. R. Soekardono. 3. Mr. R. Subekti.
§  Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Lembaga “geijkstelling” dalam zaman penjajahan dimaksudkan untuk memperlakukan Hukum Eropah kepada seseorang, tetapi “geijkstelling” dari almarhum Dr. Marzuki, berdasarkan fakta-takta:
·         bahwa perkawinan antara almarhum dengan Ny. Otoh Arwati dilangsungkan secara perkawinan Islam dimuka penghulu kota Sukabumi yang kemudian baru dicatatkan di BS. Batavia tanggal 14-12-1949.
·         bahwa almarhum telah melakukan ibadah naik Hadji dan pernah menjadi Ketua D.P.R.D. Kota Bogor mewakili Partai Masyumi.
·         bahwa almarhum dalam melangsungkan pernikahan putra-putrinya selalu menempuh tata cara Islam dan dalam menyelesaikan persoalan warisan almarhum Ny. Otoh Arwati, almarhum telah memanggil Ketua Pengadilan Agama Bogor dan beberapa orang lain;
tidak dapat dianggap menimbulkan akibat yang dimaksudkan oleh tata hukum zaman penjajahan tersebut karena almarhum dalam tata hidupnya sehari-hari tidak pernah meninggalkan lingkungan hidupnya semula sebagai orang Indonesia asli.
dan dapat pula dianggap bahwa almarhum sebagai orang Indonesia asli yang telah dipersatukan dengan golongan Eropa telah meleburkan diri kembali keda­lam golongan penduduk Indonesia asli,sehingga terhadapnya berlaku Hukum Adat.
§  Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab.
Mahkamah Agung anggap tepat bahwa untuk orang.orang Arab tidak diperlakukan B.W. dalam hal warisan.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 3-4-1968 No. 116 K/Sip/1967.
Dalam Perkara : Awod Aldjaedi lawan Galib Badjeri.
§  Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Dalam hal pembagian warisan S. Umar Alatas ini diikuti hukum Islam sesuai dengan Jurisprudensi Mahkamah Agung bahwa terhadap orang-orang keturunan Arab berlaku hukum Islam, dan sesuai dengan kehendak peninggal warisan sebagaimana tertera dalam akte notaris tersebut; sebagai pedoman dalam pembagian ini Pengadilan Negeri mengikuti pembagian dalam surat ketetapan/ fatwa waris dari Pengadilan Agama Tangerang tgl. 24 Mei 1973 No. 38/1973.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6-4-1976 No. 990 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : Pr. Syechun binti S. Umar Alatas lawan Pr. Muznah binti S. Umar Alatas.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH. 2. Samsudin Abubakar SH. 3. Indroharto SH.
§  Hukum yang berlaku bagi orang asing.
Peraturan yang harus dilakukan terhadap hibah wasiat yang dilakukan oleh orang bangsa Asing yang berasal dari Saudi Arabia adalah peraturan yang berla­ku di negara itu, sedang menurut peraturan termaksud adalah syarat mutlak bahwa pewaris dalam wasiatnya dengan tegas dan terang menyatakan kehendaknya yang terakhir itu.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. .10-1-1957 No. 22 K/Sip/1955.
Dalam Perkara : Said bin Ali Hoewel lawan Sjohara binti Mubarak bin Amir bin Hoewel.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Sutan Kali Malikul Adil. 3. Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
§  Peraturan yang berlaku.
berdasarkan azas umum dalam hukum perdata, dalam hal ada dua peraturan yang mengatur hal yang sama dan memuat ketentuan yang berlainan, maka demi kepastian hukum berlakulah peraturan yang terbaru, kecuali kalau ditentukan lain dengan undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 25-3-1976 No. 1037 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Pemerintah R.I. lawan Ny. M.T.C.W. Ojong, Ir. Han Awal dkk. Pemerintah R.I. diwakili Menteri Dalam Negeri cq Gubernur Kepala Daerah khusus Jakarta Raya cq Wali Kota Jakarta Timur.
dengan Susunan Majelis  1. Indroharto SH.; 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.; 3. DH. Lumbanradja SH.
§  Hukum antar golongan.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antar seorang Indonesia asli dan seorang Tionghoa, yang kedua-duanya adalah pedagang di kota Medan, karena perjanjian pemberian kuasa yang telah mereka adakan.
menurut Mahkamah Agung adalah hukum yang terdapat dalam titel Ke XVI K.U.H. Perdata, karena kedua pihak dalam hal ini dianggap tidak asing terhadap hukum perdata Barat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6 - 7 - 1955 No. 22 K/Sip/1954.
Dalam Perkara : Haji Ibrahim lawan Liauw Tjin Hoa.
§  Hukum yang harus diperlakukan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa karena pihak-pihak yang melakukan jual beli adalah orang-orang yang tidak sama status penggolongan rakyatnya, maka ada hubungan hukum antar golongan sehingga harus ditentukan sistim hukum manakah yang harus diperlakukan.
bahwa karena persetujuan jual beli dilakukan dengan akte notaris, maka ternyata ada pilihan hukum untuk memperlakukan sistim hukum perdata Barat yang diatur dalam B.W.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 18 - 9 - 1975 No. 550 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : 1. Magdalena Pasa; 2. Tan Boen Sang Iawan Kalabbe dan 1. M. Baedjuri; 2. Zulkifli Mappe dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH.; 2. DH. Lumbanradja SH.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
§  Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Mengingat akan pasal II jo pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 jo Maklumat Pemerintah No. 2 tanggal 10 Oktober, Mahkamah Agung tidak dilarang oleh pasal 26 Undang-Undang No. 14/1970 untuk menyampingkan tidak memperlakukan pasal-pasal yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6 Maret 1971 No. 99 K/Sip/1971.
Dalam Perkara : Tan Swie Bo lawan Ny. Tjioe Klein Lioe alias Sarijem.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono S.H. 2. Indroharto S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
Karena Tatsuhiko Matsuda/tergugat asal adalah wakil sah dari Shin Asahigawa Co Ltd., ia sebagai representatieve dapat digugat. Yang digugat Dalam Perkara ini adalah Tatsuhiko Matsuda sebagai kuasa dari dan atas nama Shin Asahigawa Co Ltd. yang berkedudukan di Jln. Kramat Raya 94-96 yang oleh Shin Asahigawa Co. Ltd. Tokio diakui sebagai kantomya di Jakarta.
oleh Pengadilan Negeri dengan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi telah diputuskan: - “Menyatakan gugatan penggugat yang ditunjukkan kepada tergugat pribadi tidak dapat diterima.”
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-3-1975 No. 1035 K/Sip/1973.
Dalam Perkara: B.E. Djohan lawan Mr. Tatsuhiko Matsuda.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto SH. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH. 3. Indroharto SH.
4.      Yurisprudensi Pengadilan Tata Usaha Negara
a.      Putusan Mahkamah Agung RI No. : 01 K/TUN/1996 Tanggal 28 Mei 1998
Kaidah Hukum
§  Walaupun putusan PTUN antara lain amarnya mengangkat sita jaminan, akan tetapi karena penggugat menyatakan banding maka status sita jaminan tersebut masih tetap melekat pada tanah tersebut;
§  Penggugat sebagai pemegang hak dan menguasai tanah tersebut secara pisik seharusnya mendapat prioritas hak guna bangunan, karena pengurus yayasan al ihsan yang menjual tanah tersebut kepada Andrianto Gunawan keabsahan kepengurusannya masih sedang disengketakan dipengadilan tata usaha negara dan masih dalam taraf pemeriksaan tingkat banding;
5.      Yurisprudensi Pengadilan Militer
Dengan berlakunya undang-undang nomor 1 Drt  tahun 1958, wewenang jaksa berpindah ketangan komandan. Berpindahnya wewenang sebagai pengusut, penuntut dan penyerah perkara kepada komandan, maka fungsi jaksa tentara dikurangi yang tadinya bersifat aktif menjadi pasif. Karena situasi politik semakin stabil, maka kehidupan militer semakin mantap hingga terpikir untuk mengadakan penggantian terhadap tenaga Hakim dan Jaksa Tentara yang masih dirangkap Hakim dan Jaksa Pengadilan Negeri dengan tenaga Militer yang aktif ahli hukum.
Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor  : 33K/Mil/1986
Kaidah Hukum :
§  Bahwa isi dokumen  Negara (rahasia Negara) yang dibocorkan itu mempunyai nilai security yang tinggi dan dengan dibocorkannya dapat memberikan dampak negatif di bidang keamanan Negara, merupakan faktor yang memperberat perbuatan Terdakwa.Pidana Pokok yang dijatuhkan Mahmilti oleh Mahmilgung diperberat.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.