Wednesday, January 30, 2013

Pandangan Para Ulama Mengenai Wakaf

0 comments
Definisi wakaf menurut Ulama Madzhab adalah sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah mengartikan wakaf dengan menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan arti, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta itu saja bukan termasuk asset hartanya.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahawa, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.
3. Ulama Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Madzhab ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan arti, harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
4. Ulama Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan menahan. asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.

perbedaan para Ulama Madzhab ttg wakaf :
1. Menurut pendapat Abu Hanifah , harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik kembali oleh oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang diperuntukan untuk tujuan wakaf.
2. menurut mazhab Maliki,  sebagaimana definisi wakaf yang disebutkan sebelumnya, harta yang diwakafkan itu menurut Malikiyah tetap menjadi milik si Wakif. Dalam hal ini sama dengan Abu Hanifah. Akan tetapi, Maliki menyatakan tidak diperbolehkan mentransasikannya atau men-tasarruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu tertentu, bukan sebagai syarat bagi Maliki selama-lamanya. Apabila habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka boleh mengambilnya lagi, walaupun benda itu untuk mesjid.Wakaf menurut interpretasi Malikiyah, tidak terputus hak si wakif terhadap benda yang diwakafkan. Yang terputus itu hanyalah dalam hal bertasarruf.
3. menurut Imam al-Syafi’i, harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Maliki. Maka disyaratkan pula benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habisnya,
4. menurut Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa wakaf terjadi karena dua hal :
   a. karena kebiasaan (perbuatan) bahwa dia itu dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Seperti seseorang mendirikan mesjid, kemudian mengizinkan orang shalat di dalamnya secara spontanitas bahwa ia telah mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan (‘urf). Walaupun secara lisan ia tidak menyebutkannya, dapat dikatakan wakaf karena sudah kebiasaan.
   b. dengan lisan baik dengan jelas (sarih) atau tidak. Atau ia memakai kata-kata habastu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila menggunakan kalimat seperti ini maka ia harus mengiringinya dengan niat wakaf. Bila telah jelas seseorang mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan juga menurut Hambali tidak bisa menariknya kembali. Hambali menyatakan, benda yang diwakafkan itu harus benda yang dapat dijual, walaupun setelah jadi wakaf tidak boleh dijual dan harus benda yang kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu, tapi buat selama-lamanya.

pengalihfungsian benda wakaf :

Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal:
1)apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar,
2)apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan
3)jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.

Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu:
1.wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual,
2.benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak seusai lagi dengan tujuan semula diwakafkan,
3.apabila benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya dan sebagainya.

Golongan Hanabilah membolehkan menjual mesjid apalagi benda wakaf lain selain mesjid, dan ditukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila ditemui sebab-sebab yang membolehkan”. Umpamanya tikar yang diwakafkan di mesjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.

Sementara itu, golongan Syafi'iyah menyatakan bahwa terlarang menjual dan menukarkan wakaf secara mutlak. Sehingga walaupun wakaf itu termasuk wakaf khas seperti wakaf untuk keluarga, dan walaupun dibolehkan oleh bermacam-macam sebab. Mereka membolehkan bagi si penerima untuk menghabiskannya guna keperluan sendiri jika ditemui hal yang membolehkan seperti pohon yang mulai mengering dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berbuah.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.