BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya banyak sistem hukum
yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia, namun dalam sejarah dan
perkembangannya ada 4 macam sistem hukum yang sangat mempengaruhi sistem hukum
yang diberlakukan di bergagai negara tersebut. Adapun sistem hukum yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Berkembang di negara-negara Eropa
(istilah lain Civil Law=hukum Romawi), dikatakan
hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku
di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527-565
M), kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada
sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yg terkodifikasi).
Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar
dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti
Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada
masa penjajahan Belanda). Artinya
adalah menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai dari berlakunya hukum dalam
suatu negara.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon
Mula-mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn
istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis), sistem hukum ini dianut di
negara-negara anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara,Kanada, Amerika
Serikat.
3. Sistem Hukum
Adat
Berkembang dilingkungan kehidupan
sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain, di Indonesia asal mula istilah hukum adat adalah
dari istilah ”Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje.
4. Sistem Hukum Islam
Sistem
hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke negara-negara lain seperti negara-negara Asia,
Afrika, Eropa, Amerika secara individual
maupun secara kelompok dalam
penyebarannya.
Berdasarkan sistem hukum dunia diatas, negara
Belanda dan Prancis termasuk negara yang menganut sistem hukum Eropa
kontinental. Hal ini dapat dilihat dari sejarah dan politik hukumnya, sistem
sumber-sumber hukumnya maupun dalam sistem penegakan hukumnya. Namun dalam
pembentukan peraturan perundangan yang berlaku sistem hukum Belanda dan Prancis
dipengaruhi oleh sistem hukum Kekaisaran Romawi.
Sistem hukum Belanda dan
Prancis yang menggunankan sistem Eropa Kontinental menganut mazhab legisme dan
positivisme. Mazhab legisme adalah Mazhab atau aliran yang menganggap bahwa
semua hukum terdapat dalam Undang-Undadang atau berarti hukum identik dengan
Undang-Undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada Undang-Undang,
sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan Undang-Undang belaka (wetstoepassing).
Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan Undang-Undang sebagai
hukum, termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini
berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila
telah dikeluarkan Undang-Undang yang mengaturnya. Menurut aliran ini
Undang-Undang adalah obat segala-galanya sekalipun dalam kenyataannya tidak
demikian. Mazhab Legisme atau Fomalitas.
Sedangkan Mazhab atau
Aliran Positivisme Hukum (Rechtspositivisme) sering juga disebut dengan
aliran legitimisme. Aliran ini sangat mengagungkan hukum tertulis. Menurut
aliran ini tidak ada norma hukum diluar hukum positif. Semua persoalan
masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Sehingga terkesan hakikat dari aliran
ini adalah penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan
hukum tertulis ini sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan
kekuasaan adalah hukum.
Aliran ini dianut oleh
John Austin (1790 – 1861, Inggris) menyatakan bahwa satu-satunya hukum adalah
kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain
hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya
langsung yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang
tertinggi dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu. Hukum yang
bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan
tidak adil.[1]
Menurut Austin hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal buruk-baik.[2]
Aliran positivisme hukum ini memperkuat aliran legisme yaitu suatu aliran tidak
ada hukum diluar undang-undang. Undang menjadi sumber hukum satu-satunya.
Undang-undang dan hukum diidentikkan dengan hukum yang harus ditaati oleh
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan
latar belakang diatas maka maka rumusan masalah yang akan dikaji yakni :
1.
Bagaimana sejarah sistem hukum Belanda dan Prancis.
2.
Bagaimana Perkembangan sistem hukum Belanda dan Prancis.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yakni untuk mengetahui sejauh mana
sistem hukum Belanda dan
Prancis dengan segala lembaga-lembaga yang berwenang dalam negara ini
serta mampu mengetahui masalah yang timbul pada sistem
hukum Belanda dan Prancis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sistem
Hukum Belanda dan Prancis
Walaupun Eropa
Kontinental itu terdiri dari beberapa Negara, dan masing-masing mempunyai
sistem hukum yang tersendiri, tetapi antara sistem-sistem hukum tersebut ada persamaannya,
sistem hukum Belanda dan Prancis pada umumnya meresepsi hukum Romawi. Dengan
demikian apabila menguraikan sejarah pertumbuhan hukum Belanda dan Prancis,
maka kiranya dapat hal itu menggambarkan sejarah pertumbuhan hukum Eropa
Kontinental pada umumnya.
Sistem hukum Belanda dan
Prancis pada mulanya berasal dari hukum kebiasaan. Di Prancis kita kenal hukum
kebiasaan yang dinamakan “Droit de Coutumes”, sedangkan di negeri
Belanda kita kenal “Gewoonterecht”. Dengan adanya resepsi hukum Romawi
maka disana perkembangan hukum kebiasaan yang sudah berkebang menjadi terputus.
Sebagaimana kita ketahui
pada zaman jayanya kerajaan Romawi, eropa Barat dan Eropa Tenggara termasuk
kedalam wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Dengan adanya penjajahan Romawi
tersebut, maka hukum Romawi itupun dikenal oleh mereka. Hukum Romawi dianggap
sebagai Ratio Sripta. Oleh sebab itu lama-kelamaan di daerah Eropa itu
terjadi resepsi hukum Romawi, sehingga kemudian hukum Romawi itu tidak lagi
dirasakan sebagai hukum asing.
1.
Resepsi hukum Romawi kedalam hukum Eropa Barat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Mulai abad
pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di
Universitas-universitas di Itali dan Prancis selatan. Pada zaman ini yang
dipelajari oleh ahli hukum hanya hukum Romawi.
b. Adanya
kepercayaan pada hukum alam yang azasi, yang dianggap sebagai suatu hukum yang
sempurna dan berlaku bagi setiap tempat dan waktu (zaman). Oleh karena mereka
yang menerima hukum alam itu tidak dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi,
maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu dengan hukum Romawi.
Sebelum unifikasi hukum
oleh Napoleon Bonaparte di seluruh Prancis berlaku hukum Germania disamping
hukum Romawi. Bagian Utara dan Tengah merupakan daerah hukum local (pays de
droit coutumier) dan bagian Selatan merupakan daerah hukum Romawi (pays
de droit eerit). Hukum yang berlaku dibagian Utara dan Tengah adalah hukum
kebiasaan Prancis kuno yang tumbuh sebagai hukum lokal yang berasal dari hukum
Germania. Hukum yang berlaku dibagian Selatan terutama hukum Romawiyang telah
mengalami kodifikasi dalam Corpus Iuris Civilis dari Justianus.
Mengenai perkawinan di
seluruh wilayah negeri Prancis berlaku hukum yang ditetapkan oleh Gereja
Katholik Roma yaitu hukum kanonik, dalam Codex Iuris Canonici. Begitulah
keadaan hukum di Prancis sebelum diadakan kodifikasi, yaitu tidak ada kesatuan
hukum.
Pada waktu pemerintahan
Louis XV, pada akhir abad 17 dan bagian pertama abad 18, meskipun cita-cita
untuk membukukan seluruh hukum perdata dalam “Corps de Lois”, belum berhasil
tetapi terbentuklah tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus. Ketiga
ordonansi itu dinamai Ordonansi Daguesseau, karena di buat oleh kanselir dari
raja Louis XV, yang bernama Daguesseau, ordonansi-ordonansi tersebut adalah :
1. L’ordonance sur
les donations (1731).
2. L’ordonance sur
les testaments (1735).
3. L’ordonance sur
les substitutions fideicommisaires (1747).
Pada tanggal 12 agustus
1800, Napolen Bonaparte membentuk suatu panitia yang bertugas membuat kodifikasi yang
terdiri dar Portalis, Trouchet, Bigot de Preameneu, dan Malleville. Yang
menjadi sumber kodifikasi ialah :
1.
Tulisan-tulisan Pothier, Domat, Bourjon.
2.
Hukum kebiasaan, terutama kebiasaan Paris.
3.
Ordonansi-ordonansi Gaguesseau.
4.
Hukum yang dibentuk sejak revolusi Prancis sampai terbentuknya
kodifikasi, yaitu hukum Intermediaire (hukum sementara waktu).
Hukum
yang bahan-bahannya diperoleh dari sumber-sumber tersebut terdiri dari campuran
azas-azas hukum Romawi, Germania dan azas-azas hukum Gereja (hukum kanonik).
Kodifikasi hukum Prancis yang terbentuk pada tanggal 21 maret 1804 dengan nama
“Code Civil des Francais”, pada tahun 1807 diundangkan lagi dengan nama “Code
Napoleon”.
Belanda adalah salah satu Negara
yang pernah dijajah oleh Prancis antara tahun 1806-1813 sehingga akibat itu
disana berlaku pula Code Prancis. Setelah belanda merdeka pada tahun 1813, maka
berdasarkan pasal 100 UUD Belanda tahun 1814, dibentuklah suatu panitia yang
bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda yang diketuai oleh
Mr.J.M.Kemper (1776-1824), yang pada tahun 1916 menyampaikan suatu rencana
kodifikasi pada raja Belanda. Rencana tersebut didasarkan atas hukum Belanda
kuno, sehingga tidak disetujui oleh para ahli hukum Belgia yang hendak
mendasarkan kodifikasi pada “Code Napoleon”(pada waktu itu negeri Belanda dan
Belgia bersatu).
Pada tanggal 22 november 1820
rencana Kemper ini setelah mendapat perobahan sedikit (tapi
masih didasarkan atas hukum Belanda kuno), disampaikan pada Parlemen Belanda
yang terkenal dengan nama “Ontwerp Kemper”. Ontwerp Kemper ini mendapat
tantangan keras dari anggota-anggota bangsa Belgia yang dipimpin oleh Presiden
pengadilan tinggi Belgia P.Th.Nicolai.
Karena Kemper meninggal dunia pada
tahun 1824, maka selanjutnya pembuatan kodifikasi hukum perdata dipimpin oleh
Nicolai. Nicolailah yang menyebabkan pembentukan kodifikasi hukum Belanda
sebagian besar bersumberkan pada Code Napoleon dan hanya sebagian sangat kecil
saja yang berdasarkan pada hukum Belanda kuno. Kodifikasi hukum perdata Belanda
baru dapat diresmikan pada tahun 1838.
Meskipun kodifikasi hukum perdata
Belanda itu bagian terbesar meniru Code Civil Prancis, tapi susunan yang
terdiri dari empat buku itu tidak berasal dari Code Civil Prancis (yang terdiri
dari tiga kitab), melainkan meniru susunan dari Instituones dalam Corpus Iuris
Civilis.
Kalau tadi hukum perdata Belanda atau Prancis, banyak meresepsi hukum Romawi, maka
tidak demikian halnya dengan Hukum Dagang. Perkembangan hukum dagang
(1000-1500), ditandai dengan di Prancis Selatan dan Itali lahir kota-kota
sebagai pusat perdagangan internasional.
Ternyata bahwa hukum Romawi tidak
dapat memberi penyelesaian untuk perkara-perkara yang ditimbulkan oleh
perniagaan pada waktu itu lebih modern sifatnya. Karena itu di kota-kota Eropa
tersebut dibuatlah peraturan-peraturan hukum baru, yang lama kelamaan menjadi
himpunan peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri. Hukum yang baru ini
menjadi hukum bagi golongan pedagang, yang dinamakan hukum dagang. Inilah
permulaan daripada timbulnya kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional.
Sampai meletusnya revolusi Prancis,
hukum dagang itu hanya berlaku bagi pedagang saja, karena golongan pedagang itu
merupakan suatu kelas yang tertutup yang dinamakan Gilde. Perkembangan
hukum dagang ini sangat cepat sekali. Ternyata bahwa pada abad ke-16 dan ke-17
banyak kota-kota di Prancis mengadakan pengadilan istimewa hanya untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang ditimbulkan dalam lapangan perniagaan,
sehingga dinamakan pengadilan saudagar. Dengan adanya pengadilan saudagar ini maka
hukum dagang itu menjadi hukum istimewa yaitu hukum kaum pedagang.
Hukum dagang ini pada mulanya belum
ada kesatuan, tetapi lama-kelamaan diadakan kesatuan hukum dagang. Karena
hubungan dalam perniagaan internasional makin erat. Sehingga pada abad ke-17 di
Prancis diadakan kodifikasi hukum dagang. Oleh
Colbert dibuat Ordonance du Commerce (1678), yang mengatur hukum
dagang yang hanya berlaku bagi pedagang. Kemudian pada tahun 1681 diadakan Ordonance
de la Marine yang mengatur hukum perniagaan laut.
Sesudah revolusi Prancis, gilde itu
dihapuskan. Maka sejak itu tidak ada alasan untuk mengadakan pemisahan antara
hukum perdata yang berlaku umum bagi tiap penduduk Prancis, dengan hukum yang
berlaku bagi pedagang saja, apalagi karena hukum dagang ini kemudian banyak
digunakan oleh bukan saudagar.
Meskipun demikian pemisahan antara
hukum dagang dengan hukum perdata masih juga diteruskan. Pada tahun 1807 dibuat
suatu undang-undang hukum dagang yaitu Code de Commerce, disamping
Code Civil des Francais. Yang menjadi dasar dari Code de Commerce
itu antara lain Ordonance de la Marine dan Ordonance du Commerce.
Hukum dagang ini mulai berlaku pada
tahun 1838, yang hanya berlaku bagi pedagang saja. Tetapi sejak pertengahan
kedua abad ke-19, hukum dagang ini dianggap berlaku juga bagi bukan pedagang.
Baik kodifikasi hukum Prancis,
meskipun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar supaya ada kepastian hukum.
Karena itu dibuatlah kodifikasi supaya tidak ada hukum diluar undang-undang
(faham legisme).
Revolusi Prancis kita kenal sebagai
suatu revolusi yang menumbangkan kekuasaan absolut dari raja-raja yang
sebelumnya terjadi revolusi sangat merajalela, sedangkan dilain pihak hak
rakyat sungguh tidak seimbang dengan kemutlakan raja. Sehingga revolusi Prancis
merupakan akibat daripada aliran pikiran liberal, yang berpokok pada paham,
bahwa manusia itu dilahirkan bebas dan masing-masing mempunyai hak yang sama.
Aliran pikiran Liberalisme ini sangat besar pengaruhnya di Eropa, dan Amerika,
dengan semboyannya “Laissez faire, laissez passer”.
Aliran pikiran ini menjelma
dalam pembentukan hukum yang terjadi setelah revolusi Prancis, seperti misalnya
pembentukan kodifikasi hukum Prancis, maupun kodifikasi hukum Belanda yang
meniru dari Prancis.
Sifat individualistis ini dapat kita
lihat misalnya pada ketentuan hak milik dalam hukum perdata
Belanda dimana hak milik itu merupakan hak mutlak dan orang bebas menggunakan
miliknya. Misalnya dapat kita lihat pada Lantaarnpaal arrest, 14 Maret
1904, dimana pada waktu itu hak milik masih begitu mutlak dan hakimnya pun
masih individualistis. Sehingga perbuatan kotapraja yang pada waktu itu
memerintahkan penyediaan kurang lebih satu meter persegi tanah dari seorang
pemilik tanah untuk menancapkan tiang lentera untuk penerangan jalan umum, oleh
hakim dianggap bertentangan dengan undang-undang, karena membatasi hak milik
perseorangan.
Di Eropa sejak sekitar tahun 1900
hubungan-hubungan sosial telah mengalami perubahan yang besar sekali. Anggapan
hidup yang individualistis telah diganti dengan anggapan hidup yang lebih
sosialistis.
Dalam bidang hukum pun
terjadi pembaharuan yaitu dengan terjadinya penyosialan hukum, yang berpendapat
bahwa tiap-tiap kaidah hukum itu hendaknya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Sehingga hak milik itu harus dipergunakan sesuai dengan kepentingan
masyarakat.
Dengan demikian karena adanya
perubahan srtuktur masyarakat yang melahirkan suatu struktur masyarakat baru,
maka dirasakan perlunya perubahan kodifikasi yang telah ada. Perubahan
kodifikasi di Prancis dan Belanda mula-mula terjadi dengan adanya yurisprudensi
yang melengkapi kodifikasi.
Di Prancis misalnya terdapat
putusan dari Pengadilan Tinggi Colmar tanggal 2 Mei tahun 1855, yang menyatakan
bahwa hak seseorang itu tidak boleh digunakan sampai mengganggu orang lain,
tanpa adanya kepentingan yang layak. Juga dinegeri Belanda kita kenal arrest 31
Januari 1919, yang memutuskan bahwa perbuatan melawan hukum itu bukan saja
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga perbuatan yang
bertentangan dengan kaidah
sosial lainnya, seperti kesusilaan seperti azas-azas pergaulan kemasyarakatan
mengenai penghormatan pada orang lain atau pada barang orang lain.
Kemudian mengenai hak milik
terdapat arrest 8 November 1937 “Gelderse Reclameverordening”, yang
mengizinkan penebangan-penebangan pohon dan tanaman lain, apabila tanaman itu membahayakan
keamanan umum.
Jadi yurisprudensi tadi merupakan
pelengkap daripada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kodifikasi yang
selalu terbelakang oleh perkembangan zaman, sehingga tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan.
Maka keadaan masyarakat sesudah
perang dunia ke-II telah begitu berubah, juga kodifikasi Belanda sendiri
mengalami perubahan dengan mulai diubahnya sebagian dari B.W tahun 1938 dengan
B.W tahun 1951, yang merupakan konsepsi Meyyers yang terkenal.
Dengan demikian di negeri Belanda,
kita melihat cara pembentukan hukum yang “terbalik” daripada cara-cara yang
dipergunakan di Inggris. Sebab di negeri Belanda ini pada mulanya kodifikasi,
jadi undang-undang, merupakan satu-satunya sumber hukum (legisme). Tetapi terdesak oleh
kebutuhan-kebutuhan yang baru, kini kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai
produk yang mengatur masyarakat secara lengkap dan sempurna.
Pengalaman membawa pengakuan, bahwa
juga didalam kodifkasi terdapat “Leemten”, terdapat hal-hal yang belum diatur.
Hal mana adalah wajar sesungguhnya, oleh karena ratio manusiapun juga tidak
sempurna adanya. Akibat terlalu tegangnya undang-undang dan kodifikasi itu
yurisprudensi datang membantu memerdekakan kegelisahan masyarakat, mula-mula
dengan penggunaan fiksi-fiksi, tetapi mulai dengan arrest yang terkenal
mengenai perbuatan yang melawan hukum itu diakuilah penggunaan penafsiran
secara teleologis.
Sekalipun di negeri Belanda tidak
berlaku azas “Stare Decisis”, akan tetapi adanya kontrol tidak langsung oleh
Pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi terhadap Pengadilan yang lebih rendah,
ternyata dapat menjamin suatu “Vaste Jurisprudentie” di negeri itu.
Kemudian segala pembaharuan oleh
yurisprudensi ini diakui, dan disempurnakan lagi dengan perubahan B.W dalam
tahun 1951. Sehingga juga di negeri Belanda dan Eropa Kontinental pada umumnya,
sekalipun bertitik tolak pada cara pembentukan hukum yang lain daripada sistem
hukum Inggris, namun disitupun hukum, selain terdapat dalam undang-undang,
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berdasarkan hukum yang berlaku,
juga dalam yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
Ini
berarti bahwa jika kita hendak mengetahui hukumnya mengenai suatu hal yang
tertentu, maka tidak cukuplah untuk hanya melihat kepada undang-undang saja.
Sebaliknya, ketentuan dalam undang-undang ini harus ditinjau dalam hubungan
dengan yurisprudensi tertentu mengenai hal yang bersangkutan ini. Inilah yang
akan menunjukan keadaan hukum yang sebenarnya.[3]
B. Sistem Hukum Belanda
Di negara Belanda, hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum
kebiasaan yaitu hukum Belanda
kuno. Namun akibat penjajahan Perancis (1806 – 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka dibentuklah panitia yang dipimpin oleh
J.M. Kemper untuk menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Belanda. Konsep kode hukum Belanda menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak disepakati oleh para ahli
hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari negara Belanda), karena mereka lebih menghendaki Code
Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824),
ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya kode hukum Belanda sebagian besar leih didasarkan pada Code
Napoleon dibandingkan hukum Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak
sama persis dengan Code Napoleon, melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones
dalam Corpus Juris Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak berdasar pada hukum Perancis melainkan berdasar pada peraturan-peraturan
dagang yang dibuat sendiri yang kemudian menjadi himpunan hukum yang berlaku
khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
dagang yang di Perancis Selatan dan di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis, hukum dagang hanya berlaku bagi golongan
pedagang saja (kelompok gilde). Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali
yaitu sebagai berikut pada abad XVI-XVII adanya Pengadilan Saudagar guna
menyelesaikan perkara-perkara perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi
hukum dagang yan belum sepenuhnya dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance
du Commerce oleh Colbert, dan tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis, kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga
diberlakukan untuk yang bukan pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata
menjadi tida terpisah. Walau dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap
terjadi.
Mengenai kodifikasi dapat
diketengahkan, bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum
secara resmi dalam suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus
berkembang, sehingga hukumnya dituntut untuk ikut terus berkembang. Dengan
metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi adalah hukum selalu
tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-maslaah
yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi tidak lagi dianggap
sebagai suatu produk yang dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan dan
secara sempurna, melainkan masih tercipta kekosongan hukum dalam arti masih
banyak hal-hal yang belum diatur. Maka alam menyelesaikan masalah-masalah yang
belum diatur tersebut dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di
samping kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak berlaku asas stare decisses
seperti di Inggris, yurisprudensi tetap dapat terjamin karena adanya kontrol
dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih rendah.
Dengan demikian bila dibandingkan
dengan perkembangan hukum di Inggris, maka perkembangan hukum di Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang
kemudian menjadi undan-undang menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum
(legisme), karena kodifikasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul kemudian, selain itu yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting
dalam sistem hukum Belanda.
Jadi, Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana juga kita
mengenalnya dengan beberapa kitab, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan
Peraturan Kepailitan. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi dari hukum
Napoleon.[4]
Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan
Kodifikasi dari hampir keseluruhan aturan mengenai hubungan pribadi dengan
pribadi. BW ini dibuat berdasarkan system konkordansi sejak pemerintahan
Napoleon di Perancis. Sebelum dilakukan kodifikasi, setiap wilyah di Belanda
memiliki aturannya masing-masing yang sebagian besar mengacu pada aturan Roma.
Tidak ada kesatuan hukum. Namun hal ini tidak bertahan lama karena setiap
aturan tidak mampu mengikuti dinamisme perkembangan pemerintahan dan politik.
Pada tahun 1531, Charles V, Raja Spanyol di Belanda, memerintahkan agar
dilakukan suatu kodifikasi dari hukum-hukum yang berlaku di masyarakat untuk
membentuk suatu unifikasi hukum. Perintah tersebut lah merupakan awal
dibentuknya BW yang memakan waktu cukup lama hingga akhirnya disahkan oleh Parlemen
Belanda pada tahun 1838.
Sejak terbentuk, pada tahun 1838,
Burgerlijk Wetboek telah mengalami beberapa kali amandemen dan reformasi besar
pada tahun 1992 mengikuti pergerakan hukum dengan dinamismenya. Tetapi
penerapan di Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari asas konkordansi, masih
tetap menggunakan BW yang dibuat pada tahun 1838 (kecuali dicabutnya aturan
mengenai Hipotik dan beberapa perubahan pada pasal-pasal sebagai konsekuensi
dari lahirnya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 5 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria di Indonesia) dan masih dapat mencakup hampir
keseluruhan aspek yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Setiap pasal dalam
BW membahas secara detail mengenai aturan yang membatasi setiap hubungan antar
individu. Meskipun BW ini bersifat terbuka yakni dapat membuat aturan baru
selama tidak bertentangan dengan undang-undang; ketertiban umum; dan
kesusilaan, seperti halnya diatur dalam pasal 1338 BW, namun tetap melindungi
dan memberikan batasan hubungan individu sampai hal terkecil. Kita ambil contoh
aturan mengenai batas pekarangan sehingga apabila terjadi suatu hal, dapat
diketahui konsekuensi hukumnya. Hal ini lah yang membuat saya benar-benar
kagum. Bagaimana bisa orang-orang pada tahun 1800 membuat aturan sedetail itu
yang masih dapat mengikuti dinamisme dan perkembangan zaman hingga saat ini.
Selain
itu, berdirinya Peradilan Internasional seperti Mahkamah Internasional,
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, International
Criminal Justice serta International Criminal Court di Belanda juga membuat
saya semakin kagum karena membuktikan bahwa system peradilan mereka, terutama
Criminal Justice System, diakui secara Internasional.
C.
Sistem Hukum Perancis
Sebelum adanya unifikasi hukum oleh
Kaisar Napoleon Bonaparte, Hukum yang berlaku di Perancis bermacam-macam yaitu hukum Germania (Jerman) dan hukum Romawi. Di bagian utara dan tengah berlaku hukum
lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum kebiasaan Perancis kuno yang berasal dari hukum Jerman, sedangkan pada daerah selatan yang berlaku
adalah hukum Romawi (pays
de droit ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris Civils
dari Kaisar Romawi Justinian I. Di samping hukum perkawinan adalah hukum yang
ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonici dan berlaku di seluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai hukum
tersebut, maka di Perancis
dirasakan tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu
timbul kesadaran akan pentingnya kesatuan hukum/unifikasi hukum. Unifikasi
hukum ini akan dituangkan ke dalam suatu buku yang bernama Corpus de lois
Gagasan unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV (Raja Louis XI) yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai parlemen propinsi pada abad XVI
dan para ahli hukum seperti Charles Doumolin (1500 – 1566), Jean Domat (1625 –
1696), Robert Joseph Pothier (1699 – 1771), dan Francois Bourjon.
Namun pada akhir abad XVIII dapat
diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang diberi
nama ordonansi daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah L’ordonance sur
les donations (1731), L’ordonance sur les testaments (1735), dan L’ordonance
sur les substituions fideicommisaires (`1747).
Tanggal 21 Maret 1804 terwujudlah
kodifikasi Perancis
dengan nama Code Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code
Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi hukum ini merupakan karya besar dari
Portalis selaku anggota panitia pembentuk kodifikasi hukum tersebut, selain itu
kodifikasi hukum ini merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan
terlengkap serta dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada.
Sehingga pada saat itu timbulah paham Legisme dengan mottonya “Di luar
undang-undang tidak ada hukum”.
Sumber hukum kodifikasi tersebut
merupakan campuran asas-asas hukum Jerman dan hukum Gereja (hukum Kanonik) yaitu hukum kebiasaan (coutumes), terutama kebiasaan Paris (coutume
de Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau, tulisan-tulisan dari pakar hukum
seperti Poithier, Domat, dan Bourjon, serta hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya kodifikasi hukum tersebut.[5]
Dari uraian tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa di negara Perancis
yang semula memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya
pada tahun 1807 dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des
Francais atau Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang
pertama di dunia.
Perancis menggunakan sebuah sistem hukum sipil; yang berarti, hukum
berasal dari peraturan tertulis, oleh
sebab itu hakim tidak membuat hukum, tapi mengartikannya (meskipun jumlah
penerjemahan hakim dalam beberapa hal menjadikannya sama dengan hukum kasus).
Prinsip dasar peraturan hukum tercantum dalam Kode Napoleon. Dalam perjanjian
dengan prinsip Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara hukum seharusnya
hanya mlarang aksi yang merugikan masyarakat. Seperti Guy Canivet, presiden
pertama Mahkamah Kasasi, menulis mengenai pengelolaan penjara:
Kebebasan
adalah peraturan, dan larangannya adalan pengecualian; larangan kebebasan
apapun harus dibuat oleh Hukum dan harus mengikuti prinsip kewajiban dan
perbandingan.
Berarti, Hukum harus
mengeluarkan larangan hanya apabila dibutuhkan, dan bila ketidaknyamanan
disebabkan oleh larangan ini tidak melebihi ketidaknyamanan yang diwajibkan
larangan untuk pemulihan. Dalam praktik, tentunya, ideologi ini sering gagal
ketika hukum dibuat.
Hukum Perancis terbagi
menjadi dua bagian utama: hukum pribadi dan hukum umum. Hukum pribadi meliputi,
biasanya, hukum sipil dan hukum kriminal. Hukum umum meliputi, hukum
administratif dan hukum konstitusional. Tetapi, dalam praktik, hukum Perancis
terdiri dari tiga bagian utama: hukum sipil, hukum kriminal dan hukum
administratif.
Perancis tidak mengakui hukum agama, ataupun pengakuan keyakinan religius atau
moralitas sebagai motivasi untuk penetapan larangan. Sebagai konsekuensi,
Perancis tidak lagi memiliki hukum pengumpatan atau hukum sodomi (terakhir dihapus tahun 1791). Tetapi
"serangan terhadap kesusilaan
umum" (contraires aux
bonnes mœurs) atau perusak
perdamaian (trouble à
l'ordre public) telah digunakan untuk menekan kembali ekspresi publik atas homoseksualitas atau prostitusi jalanan.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem yang dianut oleh
Negara-negara Eropa Kontinental khususnya Belanda dan Prancis yang didasarkan
atas hukum Romawi disebut sebagai sistem Civil law.
Disebut demikian karena Hukum
Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus Corpus
Iuris Civilis. Sistem Civil Law dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental
sehingga kerap disebut juga sistem kontinental.
Sistem Hukum Eropa
Kontinental awalnya diterapkan pada masa Romawi, kemudian dimasukkan ke dalam
sistem hukum di negara-negar Eropa Barat, seperti Jerman, Perancis dan di
negara-negara jajahannya seperti Belanda, Belgia dan sebagainya.
Ciri-cirinya :
1.
Membedakan secara tajam
antara hukum perdata dan hukum publik
2. Membedakan antara hak kebendaan dan perorangan
3. Menggunakan kodifikasi
4. Keputusan hakim terdahulu tidak mengikat
Seperti yang
berlaku di negara-negara Eropa yang lebih mementingkan kodifikasi, ilmu hukum
kontinental ini sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Sering dikenal juga
sebagai sistem hukum Civil Law. Sebagian
besar negara-negara Eropa daratan dan daerah bekas jajahan atau koloninya; ex: Jerman, Belanda, Perancis,
Italia, negara-negara
Amerika Latin dan Asia.
Berkembang di negara-negara Eropa
(istilah lain Civil Law = hukum Romawi). Dikatakan
hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku
di Kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5
(527-565 M). Kodifikasi hukum itu
merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus
Juris Civilis (hukum yang terkodifikasi).
Corpus Juris
Civilis dijadikan prinsip
dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan
seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika
Latin, Asia (termasuk Indonesia pada
masa penjajahan Belanda). Artinya adalah menurut sistem ini setiap hukum harus
dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam suatu negara.
Hukum sipil dapat didefinisikan
sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Romawi yang
terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar
keseluruh benua Eropa dan seluruh Dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua
cabang, yaitu Hukum Romawi yang terkodifikasi dan Hukum Romawi yang tidak
dikodifikasi.
Sistem Civil Law mempunyai tiga
karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada presiden sehingga Undang-undang menjadi sumber hukum
yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal
dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan,
kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.
Peraturan perundang-undangan
mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar.
Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan
penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh
orang lain.
Hukum Romawi-Jerman merupakan hukum yang berlaku di Eropa Kontinental yaitu negara-negara yang dahulunya mengikuti hukum Romawi. Ciri-ciri daripada hukum Romawi-Jerman ini adalah terbaginya hukum ini ke dalam dua
kelompok hukum yaitu Pertama, hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan
kepentingan umum. Kedua, hukum yang mengatur hubungan perdata (hubungan antar
perorangan).
3. Banyaknya mahasiswa yang
mempelajari hukum Romawi di Italia yang setelah kembali menerapkan hukum
tersebut di negaranya sendiri,
4. Universitas di Jerman
mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan serta menyebarluaskan hukum
romawi di Eropa Kontinental.
Oleh karenanya, negara-negara di Eropa Kontinental yang semula menggunakan hukum kebiasaan meresepsi hukum Romawi sehingga hukumnya sendiri menjadi lenyap.
Di negara Perancis yang semula memberlakukan bermacam-macam hukum
dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun 1807 dapat memproklamirkan buku Code
Civil des Francais atau Code Napoleon yang merupakan kodifikasi
hukum yang pertama di dunia.
Perkembangan
hukum di Belanda
adalah mula-mula berdasar pada kodifikasi yang kemudian menjadi undang-undang
menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak
dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu
yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.
B. Saran
Dari apa yang telah dibahas dari
pemaparan diatas semoga bisa mendapat pelajarasn yang dapat menyadarkan para
pebaca guna mengoreksi hal-hal yang masih perlu diperbiki guna kesempurnaan
makalah ini kedepannya, dalam menindak lanjuti perbaikan tersebut, membutuhkan
saran-saran yang membangun untuk sebuah kerangka ilmu yang bermanfaat.
Terima kasih kepada bapak dosen
yang telah memberikan ilmunya selam penulis belajar di kelas dalam mata kuliah
ini, namun terkadang tidak ada gading yang tak retak mungkin itu cocok untuk
penulis dapat, mengingat dalam penyampaian makalah ini oleh baka dosen masih
banyak kekurangan, baik itu cara penyampaiaan dan isi dari makalah itu sendiri,
penulis mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita,
Romli, LLM, SH. Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH
Indonesia. Jakarta, 1989
http://pajarr.blogspot.com/2011/09/sejarah-pertumbuhan-hukum-eropa.html
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu pengantar), (Yogyakarta: Liberty,
1986)
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994)
Radjagukuk,
Erman, Perbandingan Sistem Sistem Hukum (Civil Law-Common Law), Kumpulan
Kuliah, Jilid 1, Fakultas UI Program Pascasarjana, 2000
Ediwarman,
Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum, Pascasarjana USU medan,
tanggal 26 Oktober 2002
[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 30
[2] Ibid.,
[3] http://pajarr.blogspot.com/2011/09/sejarah-pertumbuhan-hukum-eropa.html
[4] Suherman, Ade Maman, Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2006. Hlm 61
[5] H. Soenarjati, Kapita Selekta Perbandingan
Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 109